Minggu, November 23, 2008

Ada dan Tiada

Saat itu, Kamis 23 Agustus 2008...Aku minta ijin papa pulang agak telat, karena rekan sekantor mengajak untuk makan malam bersama (farewell-lah). Kami bercanda, makan, berandai-andai...seru lah pokoknya. Sekitar pk. 20.00 WIB, kami pulang, bareng-bareng di mobil yang sama dan meneruskan bercanda...ditengah perjalanan papa telpon dan menanyakan suatu hal yang biasa "mama dimana?" tapi ada satu hal yang menggelitik untuk dapat menjadi beban pikiranku saat itu, saat papa berkata "cepat pulang ya...anak-anak sendirian, tolong ditemenin" Ada apa...? ternyata suami adik ipar dikabarkan jatuh di rumah...aku mengiyakan...tapi selang sepuluh menit hatiku merasa ada yang tidak beres...ku sms papa menanyakan bagaimana kabar suami adik iparku itu...bukan sms balasan yan kudapat tapi telpon dari papa yang bagai petir disiang bolong....
"ma...Innalillahi maa...! apa pa...kenapa...? Totok maa...innalillahi...! Aku masih terpana mendengar suara papa di telpon...masih belum ngeh dengan kata-katanya...hingga aku bertanya..."Totok kenapa pa...parah jatuhnya?" Papa dengan tersendat dan parau berkata "Totok meninggal ma.." Inna lillahi wa inna ilaihi roji'un...tumpahlah airmataku di mobil saat perjalanan pulang kerumah, tak terbendung...kuucapkan istighfar berkali-kali....terbayang Liza, adik iparku...Anza dan Naafii' keponakanku yang masih berusia 9 dan hampir 2 tahun. Sesak dada ini...Seketika suasana di dalam mobil hening...semua mengerti kedukaanku. Salah seorang rekan berkata, jika ada yang meninggal dan saat itu dibacakan surat Al Ikhlas sebanyak 7 kali maka insyaAllah doanya akan diterima dan arwah yang meninggal akan didampingi oleh para malaikat. Langsung saat itu pula kudengungkan surat Al Ikhlas. Selamat jalan mas Totok, belum banyak aku mengenal dirimu, belum begitu dekat aku dengan dirimu, tapi begitu banyak hal yang kudapat darimu dan menjadi kenangan untukku. Tabahkan dan kuatkan hatimu Liz...ada 2 cahaya dalam kehidupanmu yang akan selalu menjadi penerang langkahmu...Anak-anakmu...Anza dan Naafii'.

Secuil kisah ada dan dan tiada

Berawal dari perkenalan saat pernikahannya dengan calon adik ipar, hingga menjadi ipar sesungguhnya. Sosok yang bersahaja...pendiam...tak banyak kata. Dari dia aku belajar tentang kesabaran, pengertian dan kesopanan walaupun secara tidak langsung. Masih teringat dibenakku...saat terakhir kali aku bertemu dengan beliau, satu minggu sebelum kepulangannya ke Rahmatullah...saat itu aku hanya bisa menyapa dari jendela mobil (karena mengantar Liza dan dua putranya setelah kami ziarah ke makam ayah dan ibu mertua di Malang) dengan kalimat "Gimana mas, udah sehat?" karena saat itu beliau tidak ikut ke Malang karena memang kurang enak badan. Ternyata...itulah saapaanku terakhir untuknya.


mo baca terusss»»

Sabtu, November 15, 2008

pindah

10 Oktober 2008, adalah saat kami (Aku, Papa, Gammas dan Aya) plus mbah Puah (yang ngejagain anak-anak) untuk pindah dari home sweet home kami yang pertama di Green Park Regency, Sidoarjo ke daerah yang benar2 baru dan belum kami kenal sebelumnya selain mpek-mpek dan tekwannya.... yaaa...Palembang...!! Kami akan pindah ke Palembang. Suatu hal yang benar-benar membuat kami harus berpikir dan bertindak ekstra cepat....mencari rumah, mencari sekolah, mencari calon2 pembeli barang2 yang kami tinggal, mendelegasikan kunci rumah yang lama sambil menunggu calon penyewa.....pfiiiuuuhhh...tidak terbayangkan.
Yaaa...sesuatu yang baru...! Baru…karena baru kali ini kami pindah karena tugas (dua kali sebelumnya karena pindah kontrak rumah ke rumah kami sendiri setelah sebelumnya pindah dari rumah orang tua ke rumah kontrakan), baru…karena pindahnya ke Palembang, keluar Jawa...(tidak pernah terbayang...!), baru…karena anak-anak harus pula mengikuti ego orangtuanya untuk menempuh kehidupan yang lebih baik (insyaAllah) dengan mengorbankan kepentingan dan kemauan mereka untuk tetap menikmati suasana damai dan menyenangkan di kota udang Sidoarjo.
Berat…??? Yaaa…berat…! Apalagi aku menyadari bahwa dengan kepindahan ini, aku tidak akan bisa lagi menikmati rujak cingur kesukaanku setiap kali aku menginginkannya (hihi…simple yaa), berat…saat aku sadar bahwa tidak bisa setiap kali aku ingin bermanja dengan orangtuaku, aku bisa langsung bersandar pada bahunya (biasanya aku rutin berkunjung setiap sabtu atau minggu ke rumah beliau), berat pula karena harus memutuskan sesuatu yang amat sangat berpengaruh terhadap perkembangan jiwa dan mental Gammas dan Aya. Satu hal lagi yang membuatku berat tuk melangkah, yaitu keberadaan adik iparku yang tinggal di satu kota dengan kami di Sidoarjo…karena dia baru saja kehilangan orang yang paling dikasihinya…yaa….kami semua kehilangan…sedih rasanya jika harus mengingat itu semua, tapi insya Allah Liza dan kedua putra putrinya bisa terus menapaki hidup ini dengan langkah ringan dan dengan penuh tawakkal. Amin. (nanti aku ceritakan pada stories-ku yang lain).

Pukul 05.00 WIB Aku sudah bangun. Tidak seperti biasanya, yang masih berguling guling di kasur, saat itu aku langsung bangun dan segera ke dapur…(aku sedang berhalangan saat itu, jadi tidak menunaikan ibadah pagiku)…yaaa…dapurku sudah lengang, barang2 sudah tidak ada di tempatnya, kecuali kompor dan gas karena memang kutinggalkan. Lama aku menatap ruang dapurku dan tiba-tiba dadaku terasa sesak…aku baru menyadari…berat rasanya berpisah dari semua kenangan dan memories yang kita miliki sebelumnya, sampai akhirnya mbah Puah menyadarkanku dengan kehadiran dan sapaannya “siram mbak…?”. Aku berpaling dan menjawab “enggak mbah, mengko ae (nanti aja…)” .

Setelah itu satu persatu anggota keluargaku bangun, papa, Gammas dan si bungsu Aya. Disela-sela kegiatan persiapan terakhir itu, kakakku nomor dua (yang sengaja tidur di rumah kami untuk mengantarkan aku sekeluarga ke bandara) bicara “gak usah mbah…iku gak usah digowo” (gak usah mbah…itu gak usah dibawa)…ya ampuunnn…ternyata all stuff yang ada di dapurku sebagian besar ingin dibawa oleh si mbah, dengan menggunakan tas plastic hitam besar…padahal kami akan berangkat dengan menggunakan pesawat dan yang ada di dalam tas plastic itu adalah peralatan dapur yang dari plastic yang sengaja aku tinggalkan karena aku berpikir akan lebih efisien untuk membeli lagi di tempat baru daripada kami harus membawa dari tempat asal. Duh….mbah…! Akhirnya, daripada aku pusing memikirkan hal itu, kuserahkan sepenuhnya pada kakakku untuk mengatur tas-tas milik mbah yang akan dibawa (malam sebelumnya kami sudah mengatur dan menghitung berapa barang bawaan yang harus masuk di bagasi, termasuk punya si mbah, tapi ternyata paginya masih banyak tas2 mbah yang mau dibawa termasuk tas2 plastik itu….whoaaaaaa……).

Akhirnya, tepat pukul 09.00 WIB, kami keluar dari rumah…diiringi lambaian tangan para tetangga yang sudah empat tahun berinteraksi dengan kami (aku, papa, Gammas dan Aya juga mbah). Bye guys…we’ll remember you all.

Dibandara, sudah menunggu Liza dengan kedua putranya, tante Ros (yang suka latah), ada juga tante dan om Budi, Yang Guru (sebutan dari anakku untuk adik ibuku karena beliau seorang guru TK), Mbak Nar (kakak keduaku yang tidur semalam di rumah) dengan suaminya, Tono dan Galuh dengan dua krucilnya….dan beberapa keponakan…banyak yaaa….iyya..secara karena di keluargaku belum pernah ada yang merantau hingga ke luar Jawa untuk jangka waktu yang belum dapat ditentukan. O iya..keberangkatanku ini walaupun berat tapi ada hal yang menyejukkan hatiku…karena kedua orangtuaku bersedia untuk turut serta menemani saat-saat pertama kami ada di Palembang. Maturnuwun Ma..Pak….!

mo baca terusss»»